Pusat Riset Perubahan Iklim Aceh (PRPIA) – Universitas Syiah Kuala

Editor: Redaksi author photo


Pusat Riset Perubahan Iklim Aceh (PRPIA) – Universitas Syiah Kuala

30 November 2025

Pusat Riset Perubahan Iklim Aceh (PRPIA) Universitas Syiah Kuala menyampaikan duka mendalam dan keprihatinan serius atas rangkaian banjir bandang serta longsor besar yang menghantam Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada 25–27 November 2025. Data dari berbagai media nasional melaporkan bahwa bencana ini telah menimbulkan kehancuran luar biasa: lebih dari 440 jiwa meninggal dunia, sementara lebih dari 400 orang masih dinyatakan hilang, ribuan rumah rusak atau hanyut, serta puluhan ribu warga mengungsi. Laporan Jambi Independent menunjukkan tingginya korban jiwa, sementara Pikiran Rakyat dan Jawapos merinci kabupaten-kabupaten yang terdampak parah dengan infrastruktur yang lumpuh. Kondisi di banyak wilayah semakin memburuk akibat akses jalan yang terputus, jembatan yang roboh, serta listrik dan akses internet yang padam berhari-hari, sehingga menghambat komunikasi, evakuasi, dan distribusi bantuan. Sejumlah daerah bahkan melaporkan bahwa bantuan dari pemerintah pusat tiba terlambat karena jalur yang tidak bisa ditembus dan cuaca ekstrem yang menghambat mobilisasi logistik.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat bahwa hujan ekstrem yang memicu banjir dipengaruhi oleh penguatan Monsun Asia dan aktivitas Madden–Julian Oscillation (MJO). Namun laporan lapangan dan analisis berbagai lembaga menunjukkan bahwa cuaca ekstrem bukan satu-satunya penyebab. Media Indonesia melaporkan bahwa kerusakan ekosistem di kawasan hulu memperparah dampak bencana. Video warga dan dokumentasi BPBD memperlihatkan gelondongan kayu dan material besar terseret derasnya arus—indikasi jelas bahwa tutupan hutan di banyak daerah sudah tidak mampu lagi menjalankan fungsi ekologisnya. Data Global Forest Watch menunjukkan hilangnya tutupan pohon secara signifikan di seluruh Sumatra sejak 2001. Yayasan HAkA mencatat bahwa Aceh kehilangan 10.610 hektare tutupan hutan pada 2024, meningkat 19 persen dibandingkan 2023. WALHI Sumatera Utara, melalui laporan Egindo, menegaskan bahwa perambahan hutan, pembangunan infrastruktur, serta fragmentasi kawasan Batang Toru telah melemahkan struktur tanah dan meningkatkan risiko longsor maupun banjir bandang.

Bencana ini menunjukkan dengan jelas bagaimana krisis iklim global dan krisis ekologis akibat deforestasi saling memperkuat. Tren kenaikan suhu global meningkatkan pembentukan awan konvektif dan intensitas hujan ekstrem. Ketika curah hujan tinggi jatuh pada lanskap yang telah kehilangan penopang ekologisnya, banjir bandang dan longsor menjadi tragedi yang tak terhindarkan. PRPIA–USK menegaskan bahwa apa yang terjadi saat ini merupakan “puncak kerusakan ekologis yang terakumulasi selama puluhan tahun” dan memperlihatkan betapa gentingnya kondisi lingkungan di Sumatra.

Pada saat yang sama, kelompok rentan—terutama perempuan, anak-anak, penyandang disabilitas, dan lansia—menghadapi dampak yang jauh lebih berat. Kepadatan pengungsian dan fasilitas darurat yang sangat terbatas menyulitkan akses mereka terhadap air bersih, sanitasi layak, layanan kesehatan reproduksi, ruang aman, dan perlindungan terhadap kekerasan berbasis gender. Anak-anak mengalami trauma psikososial akibat kehilangan tempat tinggal dan gangguan sekolah. Penyandang disabilitas dan lansia sering kali tertinggal saat evakuasi dan menghadapi hambatan besar dalam memperoleh obat-obatan, alat bantu, serta layanan kesehatan yang sesuai kebutuhan mereka. Tanpa kebijakan tanggap darurat yang inklusif, kelompok-kelompok ini berisiko tidak tersentuh bantuan dan pemulihan.

PRPIA–USK mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk segera melakukan audit ekologis menyeluruh pada seluruh kawasan hulu terdampak, memperketat penegakan hukum terhadap pembalakan liar dan alih fungsi lahan tanpa izin, serta memutakhirkan peta rawan bencana berdasarkan data tutupan lahan terbaru. Restorasi hutan dan rehabilitasi Daerah Aliran Sungai harus segera menjadi prioritas, disertai penguatan pelibatan masyarakat lokal dan adat yang telah terbukti menjaga hutan secara berkelanjutan. Dunia usaha wajib menghentikan praktik merusak lingkungan dan menerapkan standar keberlanjutan secara ketat.

Kepala PRPIA–USK, Ir. Suraiya Kamaruzzaman, S.T., M.T., menegaskan bahwa, “Bencana yang kita saksikan bukan hanya akibat hujan ekstrem, tetapi dampak dari kerusakan lingkungan yang terakumulasi selama bertahun-tahun. Jika kita tidak menghentikan perusakan hutan dan mulai memulihkan ekosistem hari ini, bencana yang lebih besar akan terus berulang.” PRPIA–USK siap bekerja sama dengan pemerintah, lembaga riset, organisasi masyarakat sipil, dan berbagai pemangku kepentingan lain untuk menyediakan analisis ilmiah, pemetaan risiko, dan pendampingan teknis penyusunan strategi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim berbasis keadilan sosial dan inklusivitas.

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi Pusat Riset Perubahan Iklim Aceh – Universitas Syiah Kuala melalui:

1. Ir. Suraiya Kamaruzzaman, S.T., M.T. – Kepala Pusat Riset (0813 6068 4060)

2. Dr. Irfan Zikri, SP., MA. – Sekretaris (0812 6333 5161)

Share:
Komentar

Berita Terkini